Next Post
IMG-20230323-WA0004
IMG-20221112-WA0007
https://www.kabarpost.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-kabarpost.jpg

SENGKARUT BOJONG KONENG CERMIN BURUK REFORMA AGRARIA

Jim R Tindi
Jim R Tindi

 

Catatan Pinggir Jim R.Tindi

MENCUATNYA perseteruan antara Sentul City dan Rakyat penggarap cukup menyita perhatian Banyak orang, Tiba-tiba seperti memicu perhatian para pemangku kebijakan, bahkan terakhir sempat membuat Menteri Agraria untuk menggelar konfrensi Pers dengan tajuk memberantas “mafia tanah” dan berujung mutasi pada beberapa Pegawai di lingkungan Kementerian ATR/BPN sendiri.
Kita berharap tentunya langkah ini tak sekedar memuaskan perhatian rakyat.

Bojong Koneng Kampung kecil di Kaki Gunung Pancar seketika menjadi sorotan media, tak banyak yang tau muasal objek yang di jadikan sengketa ini.
Bahkan Pihak berwenang (BPN) enggan terbuka soal Sejarah asal usul Tanah sehingga bisa di jadikan pijakan/Landasan hukum atas kepemilikan.
Saya Bahkan berpikir ini ada upaya “mengkaburkan’ sejarah objek sengketa untuk kepentingan Korporasi. Dalam Tulisan saya sebelumnya dengan lantang saya katakan bahwa Negara tak Berdaya di Bawa cengkraman Oligarki.

Bojong Koneng dari Perspektif Historis Yuridis:
Pada era Pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia kita sering mendengar Recht Van Eigendom yang di singkat RVE, merupakan bukti Kepemilikan Hak Milik atas Tanah dengan Tatacara dan sistem Penerbitannya sudah sangat Memenuhi Standar Seperti:

Data titik koordinat
Sistem Perhitungan keluasan dengan peraturan yang ada saat itu.
Pemerintahan Hindia Belanda menerapkan aturan ini bagi Penduduk Pribumi maupun Penduduk pendatang (asing) tanpa pengecualian.
Termasuk beberapa wilayah yang memiliki Sistem Pemerintahan Kerajaan Juga bisa menggunakan sistem Pendaftaran ini. Seperti Kerajaan Kesultanan Nyayogyokarto/Yogyakarta di Mulai era Pemerintahan Raja Sultan Hamengkubuwono VII dan masuk Tahun 1918 sampai dengan sebelum kemerdekaan RI 1945.

RVE (Recht Van Eigendom) yang di miliki oleh orang Indonesia Asli pada umumnya di ajukan oleh para anak-anak Raja dan Keluarganya. Serta Pribumi yang kaya raya. Luasan Tanahnya juga di ajukan berhektar-hektar hal ini di lakukan untuk mengimbangi Hegemoni baik secara Politik maupun kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda.

Riwayat RVE No. 18 Verp.nomor 69 atas nama Malikoel Koesno:
Yang berlokasi di Kampung Bojong Koneng Distrik Babakan Madang Bogor Jabar:

Surat Ukur Tahun 1938 Nomor 5489 dengan batas-batas yang telah di urai Utara, timur, selatan barat serta berupa titik Koordinatnya Seluas 29.928.940 Meter persegi di peroleh dengan cara membeli dengan data-data yang lengkap sesuai aturan pada saat itu. Dan Kepemilikannya Sah secara turun temurun, sampai berlakunya UUPA No. 5 Tahun 1960.
Dan di era Pemerintahan Belanda siapapun dia menyangkut Pembelian dan kepemilikan Tanah Wajib mendaftarkan pada sistem RVE ini, Termasuk GKR Pembajoen Waloejo binti Malikoel Koesno.

Menurut catatan sejarah Pakubuwono X adalah seorang yang Kaya Raya, untuk mengimbangi Dominasi Asing dan Pemerintahan Hindia Belanda Beliau melakukan pembelian Tanah agar Kerajaan memiliki wibawa dan menyelamatkan wilayah kekuasaan, hal ini tentu memperlihatkan semangat Nasionalisme yang tinggi.
Maka secara hukum Tanah Eigendom Milik Beliau, atas nama Kerajaan, atas nama Raja, atas Nama Permaisuri maupun atas Nama GKR Pembajoen Waloeje binti Malikoel Koesno adalah Sah Kepemilikannya sampai saat ini sesuai uraian UUPA nomor 5 Tahun 1960.

Tinjauan Hukum Pertanahan di Indonesia bersifat Yuridis Nasionalistis:

Menurut UUPA Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar Pokok-pokok Agraria yang dalam konsederanya tentang menimbang huruf (d) yang berbunyi: Bagi rakyat asli Pribumi hukum agraria penjajahan itu tidak Menjamin kepastian hukum sehingga dapat di manifestasikan bahwa UUPA itu menjamin Hak atas tanah Rakyat Indonesia asli, artinya kepemilikan tanah milik Rakyat Indonesia Asli berdasarkan Hak Barat dapat di lindungi secara hukum menurut UUPA.
Undang-undang Pokok Agraria bertujuan untuk menghilangkan sifat dualisme dalam sistem pertanahan di Indonesia, yaitu berlakunya hukum adat di samping hukum agraria yang didasarkan atas hukum barat. Sekaligus dapat membentuk unifikasi peraturan pertanahan.

Menurut UUPA pasal 20 ayat (1) bahwa hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam pasal (6).
Pasal 24 UUPA bahwa pengunaan tanah milik oleh bukan pemiliknya di batasi dan di atur dalam perundangan.

Menurut ketentuan-ketentuan Konversi dalam UUPA nomor 5 Tahun 1960 Pasal I ayat 1 Hak Eigendom atas tanah yang ada pada mulai berlakunya UUPA sejak saat itu menjadi HAK MILIK kecuali jika yang mempunyai hak tidak memenuhi syarat sebagaimana di sebut dalam pasal 21.

Pertanyaanya dari Uraian di atas:
1. Apakah GKR Pambajoen Waloejo Tidak memenuhi persyaratan tersebut?
2. Apa yang menjadi Alas Hak PT. Sentul City Tbk. yang mengklaim kepemilikan atas Tanah Eigendom Nomor 18 Verponding 69 atas nama Malikoel Koesno ini..?

 

Walahualam……
Bersambung….

Admin

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Newsletter

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.

banner

Recent News

themediagrid.com, J8FXQA, DIRECT, 35d5010d7789b49d
google.com, pub-8668870452462831, DIRECT, f08c47fec0942fa0