Next Post

Industri Pupuk Dalam Hilirisasi dan Swasembada Pangan

Screenshot_20250102-210658_Google
 

Oleh: Dominggus Oktavianus Tobu Kiik *

 

INDUSTRI pupuk berkorelasi dengan pelaksanaan dua program strategis Pemerintahan Prabowo-Gibran, yaitu hilirisasi sumber daya alam (terkhusus gas alam) dan swasembada pangan. Dalam program strategis ini, gas alam ditempatkan sebagai satu dari delapan sektor prioritas hilirisasi. Produk turunan dan diversifikasinya, antara lain, dihasilkan melalui industri pupuk yang tergolong industri kimia berteknologi tinggi. Selanjutnya, pupuk menjadi salah satu sarana kunci untuk mencapai target swasembada pangan. Dengan demikian, ketersediaan gas alam dengan segala instrumennya, mulai dari hulu, midstream hingga hilir, menjadi menjadi faktor pangkal yang sangat menentukan keberhasilan program hilirisasi dan swasembada pangan.

Berkaca Pada Nikel

Kebijakan hilirisasi nikel beberapa tahun terakhir berhasil membentuk cara berpikir (mind set) dan kesadaran baru. Kebijakan ekspor bahan mentah tidak lagi relevan karena dinilai hanya kelanjutan dari bangunan struktur ekonomi warisan kolonial. Momentum perubahan geopolitik memberi dorongan dan peluang tambahan bagi jalannya hilirisasi tersebut. Kendati langkah besar pelarangan ekspor nikel menimbulkan reaksi keras dari Uni Eropa, pemerintahan Joko Widodo ketika itu bergeming. Langkah ini dinilai tepat serta membawa keuntungan besar bagi Indonesia, terlepas ada beberapa dampak yang masih perlu dimitigasi.

Berbeda dari nikel, hilirisasi gas alam belum membuahkan konfigurasi angka yang mencolok. Dalam hemat penulis, keadaan ini setidaknya dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, meningkatnya persentase konsumsi domestik gas alam belum diiringi dengan meningkatnya volume ketersediaan dan serapan. Di tahun 2016 pemanfaatan domestik sempat mencapai 3.996 miliar British Thermal Unit per Day (BBTUD) dengan persentase 58,3% dan ekspor 41,7%. Sedangkan di tahun 2023 pemanfaatan domestik turun jadi 3.745 BBTUD dengan persentase 68,2% dan ekspor 31,8%. Ironi ini disebabkan menurunnya total produksi gas nasional.

Kedua, masih ada keraguan pada sebagian pemangku kepentingan, baik unsur pemerintahan maupun swasta, dalam optimalisasi gas untuk pemanfaatan domestik, terutama untuk hilirisasi. Keraguan ini didasarkan alasan menurunnya pendapatan negara berhubung menurunnya volume ekspor, serta pengaruh negatif kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) terhadap investasi di sektor hulu. Kebijakan HGBT menetapkan harga maksimal 6 USD per juta British Thermal Unit (MMBTU) untuk tujuh bidang industri, termasuk industri pupuk yang menyerap hingga 60% pemanfaatan kebijakan tersebut. Kalangan ini meminta agar kebijakan harga “gas murah” yang seharusnya berakhir per 31 Desember 2024 tersebut tidak diperpanjang oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Masalah menurunnya produksi gas nasional relatif bisa teratasi dengan tren kenaikan produksi yang dimulai tahun 2023. Pihak SKK Migas juga meyakini produksi akan terus meningkat. Namun keraguan mengoptimalisasi pemanfaatan gas untuk hilirisasi dan pengembangan industri seharusnya sudah bisa ditepis dengan berkaca pada hilirisasi nikel. Terlebih, kajian yang disampaikan Kementerian Perindustrian terkait manfaat HGBT mencakup nilai tambah ekspor sebesar 84,98 triliun, peningkatan pajak 27,81 triliun, mendorong investasi baru sebesar 31,06 triliun, dan pengurangan beban subsidi pupuk sebesar 13,33 triliun.

Dibandingkan hilirisasi nikel yang harus berkenalan dengan teknologi baru—dengan konsekuensi melibatkan banyak modal dan tenaga kerja asing, Indonesia memiliki kesiapan yang lebih baik untuk hilirisasi gas. Keberadaan industri padat teknologi seperti sejumlah pabrik pupuk serta pengalaman sumber daya manusia beserta hasil risetnya berada pada level kesiapan yang berbeda.

Menurut Direktur Utama PT. Pupuk Indonesia (PI), Rahmad Pribadi, perusahaan negara ini telah mendapat tugas dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk melaksanakan hilirisasi gas alam melalui diversifikasi menjadi beragam produk turunan yang sebagian besar atau bahkan seluruhnya masih diimpor seperti metanol, polietilena, abu soda (soda ash) dan asam asetat (acetic acid) di samping pupuk sebagai produk utama.

Untuk industri pupuk, telah dilakukan beberapa kajian dan simulasi yang menyimpulkan bahwa hilirisasi gas alam menjadi produk pupuk membawa keuntungan berlipat ketimbang sekadar diekspor. Sekalipun jika gas alam dijual kepada industri pupuk dengan harga yang lebih murah dari yang berlaku sekarang, dampak berantainya akan berkontribusi jauh lebih besar terhadap negara. Kontribusi ini belum dihitung lebih lanjut pada nilai tambah yang dihasilkan sektor pertanian, perkebunan dan tambak (udang dan ikan air tawar tertentu) sebagai pengguna produk pupuk.

Dukung Swasembada Pangan

Benar bahwa masih dibutuhkan kajian yang lebih mendalam dan komprehensif untuk menghitung dampak lanjutan dari ketersediaan dan harga gas serta pupuk, bagi pengguna akhir di sektor pertanian, perkebunan dan tambak. Namun sudah tersedia beberapa hasil riset yang menghitung dampaknya untuk sektor pertanian dan swasembada pangan. Salah satunya dipaparkan oleh Direktur Utama Pupuk Indonesia sebagaimana dikutip Kompas (3/4), yang menjelaskan peran gas dalam industri pupuk sampai dampak berantainya terhadap produktivitas pertanian, dan sebaliknya, kerugian yang ditimbulkan bila harga gas dinaikkan.

Kita mengapresiasi komitmen pemerintah menambah anggaran subsidi pupuk menjadi 44 triliun rupiah dengan kenaikan volume dari 4,75 juta ton menjadi 9,55 juta ton. Kebutuhan pupuk subsidi secara nasional yang didasarkan pada data elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (e-RDKK) sebenarnya jauh lebih tinggi, yaitu rerata sekitar 25 juta ton per tahun. Artinya, di samping masalah distribusi yang dipastikan tepat sasaran dan peningkatan daya serap petani, penambahan anggaran tersebut akan berdampak optimal apabila ketersediaan pasokan dan harga gas murah dapat dijamin untuk industri pupuk.

Dengan penalaran ekonomi sederhana, harga gas murah akan menekan harga pokok penjualan dan biaya produksi. Dengan demikian, dari alokasi anggaran yang tersedia dapat menutupi kebutuhan volume pupuk subsidi dalam jumlah yang lebih besar, sehingga secara teoritis berarti semakin banyak petani atau lahan pertanian yang dapat memanfaatkan pupuk subsidi.
Untuk beberapa tahun ke depan, tiga dari lima produsen pupuk milik negara yang berada dalam PT. Pupuk Indonesia belum memperoleh kepastian kecukupan pasokan gas. Upaya-upaya untuk mendapatkan jaminan pasokan kerap berhadapan dengan keputusan politik tentang prioritas alokasi gas, baik untuk ekspor maupun untuk kebutuhan domestik lain.

Keadaan ini memberi gambaran tantangan jalannya program hilirisasi gas alam dan swasembada pangan. Rencana revisi Undang-Undang No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi kiranya dapat menjangkau persoalan yang dihadapi kedua program strategis tersebut.

*Penulis Dominggus Oktavianus Tobu Kiik,
Penulis adalah Komisaris Independen PT. Pupuk Iskandar Muda

Admin

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Newsletter

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.

banner

Recent News

themediagrid.com, J8FXQA, DIRECT, 35d5010d7789b49d
google.com, pub-8668870452462831, DIRECT, f08c47fec0942fa0